
saat Aman Ali berkunjung ke satu masjid di Rhode Island, Amerika Serikat (foto: koleksi Aman Ali)
DAHULU, tokoh seperti Malcolm X
berjuang dengan gigih agar kaum Muslim di Amerika Serikat (AS) tidak
dipandang dengan rasis. Ia memimpin organisasi modern lalu melawan
segala pandang yang merendahkan Islam melalui orasi yang menggetarkan
dan membelah angkasa.
Kini, puluhan tahun setelah Malcolm X
berpulang, generasi baru Muslim Amerika masih memperjuangan hal yang
sama. Namun, mereka lebih memilih bergerilya lewat dunia maya demi
mengubah stereotype yang menghinakan itu. Mereka berjuang dengan cara yang amat kreatif, namun punya daya ledak yang tak kalah dengan pendahulunya.
***
SOSOKNYA seperti aktor Will Smith.
Hari itu, Sabtu (11/12), ia datang dengan mengenakan pakaian berupa jas
dan topi. Ia selalu tersenyum ke sana kemari, sebelum akhirnya naik ke
panggung dan menjadi salah satu pembicara. Di ajang konferensi Media That Matter 2012
di American University at Washington itu, ia memaparkan pengalamannya
ketika mengampanyekan wajah Islam yang penuh kedamaian di negeri Paman
Sam itu.

saat mempresentasikan 30 Mosques 30 Days di ajang konferensi Media di Washington University (foto: Rashmi Sharma)
Namanya Aman Ali. Ia pemuda Amerika, keturunan India. Sepintas, sosoknya biasa saja. Namun, ia dicatat oleh media sekelas CNN sebagai
salah satu dari sedikit pemuda Muslim di Amerika yang memberikan
inspirasi dan kedamaian. Berbeda dengan Malcolm X, ia tidak memilih
cara-cara yang garang. Ia tidak memasuki labirin pemikiran filosofis dan
menunjukkan di mana posisi pijak pemikirannya.
Pria yang tinggal di New York ini
memilih cara-cara yang sederhana, namun memiliki daya gedor yang
dahsyat. Di zaman sekarang ini, cara-cara yang ideologis sering hanya
dipahami mereka yang berumah di langit pengetahuan. Ia memilih cara
berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari, ia adalah seseorang yang bergelut
dengan ranah hiburan dan komunikasi massa. Ia seorang komedian dan storyteller.
Ia juga reporter yang pernah melaporkan badai Katrina serta upaya
rehabilitasi korban di New Orleans hingga beritanya bergema ke Capitol
Hill di Washington DC.
Ia mulai membuat heboh Amerika
melalui seluruh saluran media social seperti facebook dan twitter. Ia
menggugah nurani publik Amerika tentang indahnya Islam melalui program 30 Mosques in 30 Days.
Program ini adalah program keliling 50 negara bagian selama 30 hari dan
mencatatkan seluruh pengalamannya melalui blog kemudian di-link melalui
facebook. Ia juga membuat tayangan dokumenter yang adegannya banyak
dimuat di semua media besar. Total jarak tempuh perjalanannya adalah
25.000 kilometer.
Nampaknya, cara ini tidak seberapa
istimewa. Tapi ia menggalang kampanye melalui facebook, hingga berhasil
menggugah nurani publik Muslim di Amerika yang berjumlah 1,8 juta orang.
Kampanye itu bersambut. Blognya menjadi jembatan yang kemudian
mempertemukan berbagai kelompok Muslim di Amerika sekaligus menjadi
catatan penyaksian tentang kelompok Muslim yang sering menerima
diskriminasi seolah semuanya adalah teroris.
Pada setiap masjid yang
dikunjunginya, ia membangun komunikasi dan jaringan serta kesepahaman
agar umat Islam bersatu dan sama-sama menolak semua prasangka. Ia mulai
menjadi komentator di CNN saat membahas masalah social, khususnya
menyangkut realitas sosiologis umat Muslim.
Aman Ali menghadirkan kedamaian,
menjelaskan tentang prasangka yang terlanjur mengakar, sekaligus
memberikan pesan tentang wajah Islam yang damai dan penuh kasih sayang.
Itu ditempuhnya melalui cara sederhana, yakni melalui blog. Ia menjadi
populer. Donasi mengalir dari mana-mana demi membiayai perjalanannya
berkeliling masjid bersama sahabatnya Bassam Tariq.
Hampir semua stasiun televisi besar
seperti CNN, HBO, ABC News, dan NPR telah mengundangnya untuk membahas
fenomena Islam. Ia juga pernah diundang Departemen Pertahanan AS demi
mempresentasikan gagasan tentang Islam. Bahkan di situs seperti Youtube banyak ditemukan wawancaranya tentang fenomena Islam di Amerika.

perjalanan Aman sebagaimana dimuat CNN
Saya mengaguminya. Dakwah Aman Ali
tidaklah bergema di masjid-masjid atau pusat-pusat Muslim. Ia berdakwah
melalui Facebook, melalui tulisan menyentuh di blognya tentang
perjuangan kaum Muslim mencari identitas, melalui tampilan Islam yang
jenaka, riang, dan selalu menebar senyum ke mana-mana. Ia menghadirkan
sesuatu yang lebih bermakna, ketimbang pernyataan ideologis serta
ikhtiar berjuang di garis depan pertempuran. Ia memasuki jantung media
sosial, sebuah arena yang di dlaamnya ada pertarungan wacana dan
gagasan, dan dirinya sukses membidik segmen tertentu.
Motivasi
Saat bertemu dengannya, saya
berkesempatan untuk berbincang tentang apa yang sudah dilakukannya.
Menurut Aman, inspirasinya datang ketika jelang Ramadhan. Saat itu, ia
termotivasi untuk melakukan sesuatu agar prasangka terhadap Muslim bisa
dikikis perlahan-lahan.
“Kita orang Muslim adalah
minoritas di sini. Kita sama tahu kalau warga kita dipersulit saat masuk
bandara, dianggap sebagai teroris di mana-mana. Makanya, saya tiba-tiba
terinspirasi untuk melakukan perjalanan mencari masjid selama 30 hari
serta membagikan catatan perjalanan itu di semua situs media sosial.”
Ia lalu berkisah tentang pengalamannya
tersebut. Mulanya ia hanya menulis status di Facebook. Ternyata gayung
terus bersambut. Ia lalu membuat blog yang rajin memuat pengalamannya.
Blognya lalu dikunjungi ribuan orang dalam sehari. Mulailah ia
merencanakan sesuatu yang lebih serius tentang perjalanan mencari masjid
lalu mengabarkan kondisi terkini umat Islam di negara yang mengklaim
dirinya paling demokratis tersebut.

saat sahabat penulis dan sahabat asal Kolombia berbincang dengan Aman Ali (foto: Rashmi Sharma)
Menurut Aman, citra Islam dirusak oleh sekelompok orang yang suka mengatasnamakan Islam, lalu menebar teror. “Analoginya
sama dengan ketika kita sama-sama menghadiri sebuah pesta, namun ada
seorang Muslim yang menumpahkan minuman ke karpet. Tiba-tiba saja semua
Muslim dituduh melakukan hal yang sama. Kita dipaksa untuk minta maaf di
mana-mana. Padahal itu ulah satu orang. Itulah yang saya rasakan selama
ini. Makanya, berhentilah minta maaf sebab tindakan bodoh bisa
dilakukan siapapun, dari agama apapun,” katanya.
Saat saya tanya, apa rahasia utama untuk menyentuh nurani publik? Ia hanya menjawab singkat, “Lakukan sesuatu dengan penuh semangat. Lakukan dengan passion dan penuh keceriaan.”
Berbincang dengan Aman memang amat
menginspirasi. Yang saya kagumi adalah ia memilih cara-cara yang efektif
melalui media massa dan situs jejaring sosial. Makanya, di ajang
konferensi emdia yang dihadiri para sineas dokumenter serta praktisi
komunikasi di Amerika, ia menjadi teladan yang memberikan inspirasi.
Melalui aksi di media sosial, ia bertindak jauh lebih efektif, bisa
menyentuh babyak kalangan, mulai dari yang muda hingga yang tua, demi
menghadirkan wajah Islam yang lebih damai.
Melalui pemuda seperti Aman Ali,
kita akan melihat wajah yang penuh kedamaian penuh keceriaan, penuh
kebahagiaan. Bukankah itu wajah yang mestinya ditampakkan seorang
Muslim?
Athens, Ohio, 14 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan postkan komentar anda__